Sunday, December 21, 2025

Desakan Global: Hentikan Pendanaan dan Pembelian Nikel dari Harita Group

ACTUALNEWS.ID Jakarta — Tekanan global terhadap Harita Group kini bergerak dari sekadar kritik biasa menuju tudingan serius yang mengarah pada dugaan kejahatan korporasi terstruktur.

Operasi industri nikel raksasa tersebut di Pulau Obi, Maluku Utara, tidak lagi dipandang sebagai persoalan lingkungan semata, melainkan sebagai rangkaian tindakan sistematis yang diduga melanggar hukum lingkungan, hak asasi manusia, prinsip tata kelola yang baik, serta merusak sendi-sendi demokrasi dan kedaulatan ekonomi lokal.

Yohanes Masudede, Koordinator Perkumpulan Aktivis Maluku Utara, menyatakan bahwa apa yang terjadi di Pulau Obi telah memenuhi unsur kehancuran ekologis yang disengaja.

Ia menilai perubahan drastis lanskap pulau, pencemaran air, serta konflik sosial yang meluas bukanlah dampak tak terhindarkan dari pembangunan, melainkan konsekuensi langsung dari model bisnis ekstraktif yang mengabaikan hukum dan hak rakyat.

“Pulau Obi dulunya ruang hidup, sekarang menjadi zona korban. Air tercemar, tanah dirampas, dan masyarakat dipaksa menanggung biaya dari keuntungan yang mereka tidak pernah nikmati,” ujar Yohanes di Jakarta, (20/12/2025).

Menurutnya, proses penguasaan lahan dan ekspansi tambang dilakukan dengan mengabaikan hak warga dan prinsip persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan, yang secara hukum internasional merupakan pelanggaran serius.

Ia menegaskan bahwa Harita Group tidak bisa lagi berlindung di balik narasi pembangunan dan hilirisasi.

“Jika sebuah korporasi secara sadar terus beroperasi meski mengetahui dampak destruktif terhadap lingkungan dan manusia, maka itu bukan kelalaian, melainkan pembiaran yang patut diduga sebagai kejahatan korporasi,” tegasnya.

Dimensi hukum persoalan ini semakin tajam ketika isu lingkungan bertemu dengan unsur korupsi dan cacat tata kelola. Direktur Indonesia Anti-Corruption Network (IACN), Igrissa Majid, menyebut Harita Group sebagai bagian dari problem struktural sektor nikel Indonesia yang sarat dengan praktik perizinan bermasalah, konflik kepentingan, serta dugaan aliran dana non-transparan.

“Industri nikel kita dibangun bukan di atas supremasi hukum, tetapi di atas kompromi, pembiaran, dan dugaan suap, bahkan soal sendiri sudah terbukti di pengadilan terkait kasus Mantan Gubernur Maluku Utara, dan Harita Group adalah salah satu aktor dominan dalam sistem ini,” kata Igrissa.

Ia merujuk pada berbagai laporan investigatif lembaga antikorupsi yang mengungkap bagaimana izin-izin tambang dan smelter kerap terbit tanpa kepatuhan penuh terhadap aturan lingkungan dan fiskal.
Menurutnya, dampak dari praktik tersebut bukan hanya kerugian ekologis, tetapi juga kerugian negara dan rakyat.

“Ketika pajak diduga tidak optimal, izin bermasalah dibiarkan, dan dampak lingkungan tidak dipulihkan, maka ada potensi kerugian keuangan negara yang nyata. Ini wilayah hukum pidana, bukan lagi sekadar kritik kebijakan,” paparnya.

Igrissa juga menyoroti peran lembaga keuangan nasional dan internasional yang terus mendanai ekspansi Harita Group.

Ia menilai bank-bank tersebut berpotensi ikut bertanggung jawab secara etik, bahkan hukum, apabila tetap membiayai proyek yang diduga melanggar hukum dan HAM.

“Pendanaan bukan tindakan netral. Jika bank mengetahui atau seharusnya mengetahui adanya pelanggaran, maka pembiayaan itu bisa dianggap sebagai kontribusi terhadap kejahatan,” tegas alumnus Anti-Corruption Academy ini.

Tekanan terhadap sektor keuangan ini telah meluas secara global. Kampanye internasional #StopDirtyNickel yang digerakkan Kpop4planet secara terbuka menargetkan bank-bank besar seperti Hana Bank, Maybank, MUFG, dan BNI.

Aksi-aksi protes kreatif digelar untuk menunjukkan bahwa dana yang diklaim mendukung transisi energi justru menopang industri nikel dengan jejak karbon tinggi dan dampak sosial-ekologis berat.

Laporan Market Forces dan The Prakarsa memperkuat tudingan tersebut dengan mengungkap bagaimana pembiayaan Harita Group mengalir melalui celah kebijakan perbankan ke proyek PLTU batubara industri yang menyuplai smelter nikel.

Fakta ini memperlihatkan kontradiksi mendasar antara klaim energi hijau dan praktik nyata di lapangan, sekaligus menempatkan industri nikel Indonesia sebagai salah satu penyumbang emisi karbon industri tertinggi.

Dari sisi lingkungan, temuan Global Witness, The Gecko Project, serta investigasi media internasional menggambarkan situasi yang mengkhawatirkan.

Operasi Harita di Pulau Obi dituding menyebabkan pencemaran berat air laut dan air tanah oleh logam berbahaya, termasuk Kromium Heksavalen yang bersifat karsinogenik.

Investigasi media internasional The Guardian yang melibatkan aktivis lingkungan Erin Brockovich bahkan mengungkap indikasi risiko kesehatan jangka panjang bagi masyarakat sekitar.

Kebocoran laporan internal perusahaan yang dilaporkan media internasional turut mengakui adanya kontaminasi jangka panjang di area tambang dan tailing.

Di saat yang sama, wilayah perairan Halmahera yang dikenal sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati laut dunia kini menghadapi ancaman serius akibat sedimentasi dan polusi dari aktivitas tambang dan pengapalan nikel.

Ironinya, di pasar global, Harita Nickel berusaha meyakinkan calon pembeli dengan menjalani audit standar IRMA (Initiative for Responsible Mining Assurance). Namun, para kritikus melihat ini sebagai upaya pencucian citra (whitewashing) semata, mengingat temuan pelanggaran berat yang sistematis.

“Jadi di tengah tekanan ini, Laporan Keberlanjutan Harita Nickel dan partisipasi perusahaan dalam audit IRMA harus dipandang sebagai upaya greenwashing dan whitewashing,” ujarnya.

Klaim kepatuhan terhadap standar internasional dinilai tidak sebanding dengan temuan pelanggaran berat dan sistematis yang terus muncul dari lapangan.

Koalisi aktivis nasional dan internasional kini mengarahkan seruan langsung kepada para pembeli nikel, khususnya perusahaan kendaraan listrik dan baterai global.

Mereka menuntut penghentian pembelian dari Harita Group hingga seluruh dugaan pelanggaran diselidiki secara independen dan tuntas.

“Setiap nikel yang keluar dari Obi membawa jejak penderitaan manusia dan kehancuran alam, jadi kalau membelinya berarti ikut menopang sistem yang melanggar hukum dan HAM,” kata Igrissa.

Ia menambahkan bahwa ekspansi agresif industri nikel Indonesia, dengan dukungan modal dan teknologi asing, telah menciptakan distorsi pasar global sekaligus ketergantungan baru yang berbahaya.

Menurutnya, ini adalah ujian nyata bagi komitmen dunia terhadap transisi energi yang adil.

“Jika energi bersih dibangun di atas kotoran kejahatan lingkungan dan korupsi, maka itu bukan transisi, melainkan pengulangan skandal korporasi,” jelasnya.

Ditemui di Jakarta Selatan, Igrissa menegaskan bahwa penghentian pendanaan dan pembelian dari Harita Group merupakan keharusan moral sekaligus langkah preventif untuk mencegah kejahatan yang lebih besar.

Ia menutup dengan peringatan bahwa koalisi global kini memantau secara ketat sikap bank dan pembeli.

“Publik internasional sedang memberi atensi serius, siapa yang tetap mendanai dan membeli, harus siap dicatat sebagai bagian dari kejahatan yang mereka biayai sendiri,” tutup Igrissa.ACN/RED

Related Articles

Stay Connected

0FansLike
0FollowersFollow
0SubscribersSubscribe

Latest Articles