Oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil.
ACTUALNEWS.ID, YYogyakarta – Rasul pernah terusir dari kampung halamannya di Makkah. Kondisi takut dan sedih menjadi normal, tatkala sahabat mulia Abu Bakar menangis sedang berada di goa dengan kondisi di kejar-kejar kaum musyrik yang tidak menginginkan tegaknya kebenaran. Namun Rasul Shallahu alaihi wa salmam menenangkan beliau Radliallahu anhu.
Beruntung, keduanya, berikut para pejuang penerus, dihibur Allah melalui kalamNya yang mulia.
Ayat-ayat al-Qur’an yang juga bersifat obat, mengisahkan perjalanan keduanya. Selain menjadi janji dari Allah, terdapat juga seruan terkait perlakuan terhadap pribumi setempat sebagaimana tercantum dalam ayat-ayat berikut:
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “berperang di bulan itu adalah dosa besar, tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir terhadap Allah, (mengahalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah.
Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerang kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran) seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka nereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah: 217).
“Dan sesungguhnya benar-benar mereka hampir membuatmu gelisah di negeri (Mekkah untuk mengusirmu daripadanya dan kalau terjadi demikian, niscaya sepeninggalmu mereka tidak tinggal, melainkan sebenatar saja.” (az-Zunar: 76). Sebagaiman kutipan penulis terhadap ayat al-Qur’an pada berbagai kesempatan yaitu dari Tim Penerjemah al-Qur’an Kementerian Agama RI Tahun 1971, termasuk kesempatan ini, menyampaikan bahwa hijrahnya Rasul dari Mekkah ke Madinah semata perintah Allah dan bukan lantaran diusir.
“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) naka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekkah) mengeluarkannya (dari Nekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.” Maka Allah menurunkan ketenanga-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara kamu tidak melihatnya, dan Alkah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (at-Taubah: 40).
Mengulas secara singkat kisah yang terdapat pada paragraf pertama, mengingatkan pengalaman, kisah, dan perjuangan generasi selanjutnya dari umat Islam. Muslim Rohingya yang terkatung-katung di laut dengan perahu seadanya yang penuh sesak, dengan kondisi terusir dalam perahu yang sesak dan penuh keterbatasan mencari swaka bahkan terkadang mengalami penolakan.
Belum lagi, di Palestina, kisah kejam dan keji dialami umat Muslim di sana, berhari-hari, bartahun-tahun bahkan berumur hidup dalam kondisi terancam kehidupan, kemanusiaan, bahkan nyawa mereka. Tanah air, jika istilah penyair gomboh, belahan bumi tempat Tuhan “menitipkan” mereka untuk hidup di belahan bumi Allah justru menjadi sekaligus sebagai medan jihad mereka.
Masih banyak lagi kisah serupa dialami oleh berbagai bangsa yang notabene adalah umat Muslim, dan seluruh dunia menyaksikannya. Sebagai bangsa yang senantiasa sehari-hari sejak kecil mengkonsumsi ide-ide kemanusiaan, toleransi dan moderat bukankah setiap jiwa harusnya tergugah?
Darimana ide-ide bernuansa ideal tersebut sebenarnya, serta tatkala diminta pertanggungjawabannya, siapa yang harus ditunjuk? Bukankah setiap yang merasa lemah dan disesatkan meminta pertanggungjawaban dari dan oleh siapa mereka disesatkan sehingga tidak mendapat pertolongan?
Berkali-kali diulang, dan dijelaskan dengan berbagai contoh dalam al-Qur’an dan melalui penjelasan para Ulama’ bahwa Allah adalah satu-satunya penolong. Namun terkadang terasa kabur dan bahkan seolah tertutupi jalan untuk senantiasa istiqomah di jalanNya, maka siapa pelaku pembelok tersebut dan menanamkan dan menyebarkannya?
Terusir dari kampung halaman itu adalah perasaan yang sulit diungkapkan, perjuangan melanjutkan hidup yang sulit untuk digambarkan, serta pada saat bersamaan berusaha teguh di jalannya bahkan tidak dapat sepenuhnya tergambar dengan kata-kata.
Semoga kita bisa mengambil hikmah, dan menyikapinya dengan bijaksana dalam bimbinganNya. Berusaha memberi yang terbaik, selagi masih ada kesempatan.
*Penulis Lepas Yogyakarta
ACN/RED