ACTUALNEWS.ID, JAKARTA – Mayoritas masyarakat Indonesia merasa bangga dirinya menjadi Warga Negara Indonesia (WNI).
Demikian hasil survei yang dilakukan oleh lembaga riset Maarif Institute. Survei nasional melibatkan 1.221 responden berusia di atas 17 tahun yang tersebar di seluruh Indonesia dan dilakukan pada periode 10-23 Desember 2024.
“Mayoritas masyarakat Indonesia bangga sebagai warga negara, meskipun terdapat variasi berdasarkan usia, pendidikan, pekerjaan,” kata Peneliti Maarif Institute, Yahya Fathurrozi, dalam kegiatan diseminasi hasil survei nasional di Jakarta, Kamis (13/3).
Hadir sebagai narasumber dalam kegiatan ini Farid F. Saenong, MA., Ph.D. (Koordinator Staf Khusus Menteri Agama RI); Tatang Muttaqin, S.Sos., M.Ed., Ph.D. (Dirjen Pendidikan Khusus, dan Pendidikan Layanan Khusus Kemendikdasmen); dan Prof. Nina Nurmila, Ph.D. (Dekan Fakultas Pendidikan UIII).
Yahya memaparkan sebanyak 56,6 persen responden menyatakan perasaan “Sangat Bangga”, disusul oleh 40,2 persen yang menjawab “Bangga”, sehingga total persentase responden yang merasa bangga mencapai lebih dari 96 persen.
Ia melanjutkan, hanya sebagian kecil, yakni 2,1 persen, mengaku kurang bangga atau tidak bangga sama sekali, sementara 1,2 persen lainnya memilih untuk tidak memberikan jawaban atau menyatakan ketidaktahuan.
“Tingginya persentase kebanggaan ini mencerminkan tingkat nasionalisme yang solid di kalangan masyarakat, menunjukkan bahwa identitas sebagai bangsa Indonesia tetap menjadi nilai yang dijunjung tinggi dan dihormati secara luas,” ujarnya.
Dikatakan Yahya, hampir semua kelompok etnis menunjukkan tingkat kebanggaan di atas 95 persen, dengan pengecualian etnis Minang (93,9 persen) yang memiliki persentase “tidak tahu/tidak jawab” relatif tinggi (6,1 persen).
“Etnis Batak dan Madura mencatat kebanggaan 100 persen, mencerminkan keterikatan kuat dengan nilai-nilai kolektif atau kebanggaan kultural yang selaras dengan identitas nasional,” lanjutnya.
Dari sisi agama, Yahya memaparkan responden Muslim dan non-Muslim sama-sama menunjukkan kebanggaan tinggi (96,6 dan 97,3 persen), meskipun kelompok non-Muslim memiliki persentase “tidak bangga” lebih rendah (0,3 persen) dibandingkan Muslim (2,3 persen).
Ia menilai hal ini menunjukkan adanya potensi kompleksitas hubungan antara identitas agama dan nasionalisme.
Yahya menjelaskan, latar belakang pendidikan pesantren menunjukkan pola unik. Responden dengan orang tua berlatar belakang pesantren modern atau gabungan tradisional-modern memiliki persentase kebanggaan lebih rendah (90,5 dan 86,7 persen) dan persentase “tidak bangga” lebih tinggi (9,5 dan 10,1 persen). Tren serupa terlihat pada latar belakang pribadi: alumni pesantren modern memiliki kebanggaan 90,8 persen.
“Hasil survei menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia memiliki rasa bangga terhadap kewarganegaraan mereka, meskipun terdapat beberapa variasi berdasarkan faktor usia, latar belakang pendidikan, pekerjaan, dan wilayah tempat tinggal,” tuturnya.
Menurut Yahya, tingginya angka kebanggaan ini mencerminkan bahwa nasionalisme masih menjadi bagian penting dari identitas kolektif masyarakat. Namun, jika ditelaah lebih dalam, terdapat perbedaan kecil yang menunjukkan bahwa faktor sosial dan lingkungan mempengaruhi seberapa besar seseorang merasakan kebanggaan sebagai Warga Negara Indonesia.
Survei ini memberikan gambaran yang komprehensif tentang tingkat nasionalisme di Indonesia. Meskipun sebagian besar masyarakat merasa bangga menjadi WNI, perbedaan kecil berdasarkan faktor demografis menandakan perlunya perhatian lebih lanjut untuk memastikan rasa kebanggaan ini tetap terjaga dan diperkuat di masa mendatang. Hal ini penting untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta mendorong partisipasi aktif dalam pembangunan nasional.(*)
ACN/RED