Oleh:
Dr. HM. Gamari Sutrisno, MPS.
Dewan Fakar Landas Indonesia
ACTUALNEWS.ID, Jakarta – Wacana tentang pembentukan negara federal di Indonesia sesungguhnya bukan hal baru. Sejak masa revolusi kemerdekaan, gagasan federalisme pernah dijadikan alat politik kolonial Belanda untuk memecah-belah persatuan bangsa melalui pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1949. Pengalaman sejarah itu membuktikan bahwa sistem federal di Indonesia bukan lahir dari kebutuhan internal bangsa, melainkan dari intervensi eksternal untuk melemahkan kesatuan nasional.
1.Federalisme dalam konteks sejarah Indonesia
Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, para pendiri bangsa dengan tegas memilih bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945:
“Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.”
Pilihan ini lahir dari kesadaran kolektif bahwa Indonesia adalah bangsa yang majemuk — beragam suku, agama, bahasa, dan budaya — namun disatukan oleh cita-cita kemerdekaan yang sama. Bentuk negara kesatuan menjadi payung yang menjaga agar keberagaman tidak berubah menjadi perpecahan.
2.Bahaya laten ide federalisme
Setiap kali terjadi krisis kepercayaan terhadap pemerintah pusat, ide federalisme sering muncul sebagai alternatif dengan dalih “otonomi luas” atau “kemandirian daerah”. Padahal, dalam praktiknya, federalisme di negara multietnis seperti Indonesia justru berpotensi menumbuhkan sentimen kedaerahan dan disintegrasi nasional.
Jika tiap daerah memiliki kekuasaan politik dan fiskal yang hampir setara dengan pemerintah pusat, maka semangat “Bhinneka Tunggal Ika” dapat berubah menjadi “Bhinneka Tanpa Ika”.
Kekuatan asing juga kerap menggunakan isu federalisme untuk melemahkan kontrol pemerintah pusat atas sumber daya alam. Dengan memecah wilayah menjadi entitas semi-berdaulat, kepentingan ekonomi global akan lebih mudah masuk dan mengendalikan kebijakan lokal.
3.NKRI sebagai fondasi kedaulatan dan keadilan sosial
Negara Kesatuan bukan berarti menolak otonomi. UUD 1945 telah menjamin desentralisasi dan otonomi daerah secara proporsional, agar pembangunan lebih merata tanpa kehilangan kendali nasional. Sistem ini jauh lebih relevan bagi bangsa kepulauan seperti Indonesia — di mana kekuasaan pusat tetap menjaga arah kebijakan, namun memberi ruang bagi daerah untuk mengatur urusannya sendiri.
NKRI adalah bentuk final dari cita-cita kemerdekaan. Menggugatnya berarti menggugat konsensus dasar bangsa. Dalam konteks global yang semakin penuh infiltrasi ideologi dan kepentingan asing, mempertahankan NKRI bukan sekadar soal administratif, tetapi soal kedaulatan politik dan eksistensi bangsa.
4.Jalan tengah: memperkuat otonomi, bukan mengubah bentuk negara
Solusi terbaik bukan dengan mengganti sistem menjadi federal, tetapi dengan memperkuat implementasi otonomi daerah yang jujur, transparan, dan berkeadilan. Pemerintah pusat harus memastikan distribusi sumber daya, kewenangan, dan keadilan sosial berjalan tanpa diskriminasi.
Dengan demikian, aspirasi daerah tetap tersalurkan tanpa mengorbankan integrasi nasional.
Penutup
Gagasan negara federal di Indonesia ibarat membuka luka lama yang telah disembuhkan oleh sejarah. Negara Kesatuan adalah bentuk final yang menyatukan seluruh tumpah darah Indonesia. Tantangan ke depan bukan membentuk sistem baru, melainkan memperbaiki tata kelola pemerintahan agar nilai-nilai persatuan, keadilan, dan kedaulatan rakyat benar-benar terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tentang Penulis
Dr. HM Gamari Sutrisno, MPS
Pengamat Komunikasi Politik dan Kebijakan Publik,
Anggota DPR RI (2009–2019), dan Pemerhati Kedaulatan Rakyat
Ketua Senat Universitas Ibnu Chaldun Jakarta,
Dosen Komunikasi Politik.
ACN/RED