ACTUALNEWS.ID, Jakarta – Wacana Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dilakukan tidak langsung atau melalui DPRD, kembali mencuat. Mahalnya biaya yang harus dikeluarkan dalam pesta demokrasi secara langsung, menjadi salah satu alasan alasannya. Sehingga perlu dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Pilkada langsung.
Terkait hal tersebut Ketua Ikatan Alumni Fakultas Hukum (IKA FH) Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta Ramdansyah mengatakan evaluasi itu wajib untuk Pilkada. Ramdansyah menggantikan posisi Ketua IKA FH Untag Jakarta Muhammad Fadlin Nasution yang selesai masa baktinya di kepengurusan 2019-2024. Fadlin dikenal sebagai Kurator yang alumni FH Untag Jakarta.
“Evaluasi Pilkada seharusnya tidak memotong rasionalitas yang lompat. Tiba-tiba, tidak ada angin dan hujan ada pembenaran melakukan Pilkada tidak langsung. Seharusnya harus dikaji secara akademik dan netral dilihat dari sisi hukum, politis, sosiologis, yuridis dan juga filosofis. Semua harus mendasarkan masukan pertimbangan dari masyarakat dan juga kalangan akademis. Seperti mereka yang berhimpun di Ikatan Alumni FH Untag,” ujarnya saat dialog menjadi pembicara di Musyawarah Besar Ikatan Alumni FH Untag Jakarta di Rumah Makan yang ada di bilangan Cikini Jakarta Pusat, Ahad, (15/12/2024).
Hadir dalam kegiatan Musyawarah Besar IKA FH Untag Jakarta, Maman Suparman selaku dosen pengajar yang alumni FH Untag Jakarta dan juga Muhlis Gayo selaku pembina wadah ini. Peserta Mubes terdiri dari alumni-alumni FH Untag yang memenuhi ruangan Mubes. Dari pihak IKA Untag Jakarta diwakili oleh Sekjen Sarbini alumni Untag yang juga aktifis 1998. Sarbini turut memberikan sambutan atas nama Ika Untag Jakarta dan berharap kepengurusan baru IKA FH Untag Jakarta dapat meneruskan semua kegiatan yang sudah berhasil dijalankan oleh kepengurusan sebelumnya.
Ramdansyah yang pernah menjabat sebagai Ketua Panwaslu DKI Jakarta menambahkan, untuk evaluasi Pilkada banyak variabel yang perlu disampaikannya.
Pertama, dari sisi partai politik. Karena jelas dia, pintu masuk untuk Pilkada tanggal 29 Agustus melalui formulir B1 KWK dari KPU yang ditanda tangan Ketua Umum dan Sekjen partai. Form itu diisi oleh partai politik.
“Partai politik kan sangat dominan yah sekarang. Artinya peran partai dalam kekuasaan tidak lagi dipinggirkan, tetapi menjadi aktor utama. Persoalannya adalah kenapa tidak kemudian berangkat dari partai tingkat kabupaten/kota atau tingkat provinsi,” ujarnya usai acara Mubes IKA FH Untag Jakarta.
“Yang terjadi hari ini adalah ketika penjaringan internal dilakukan, itu dominasi dari DPP Partai. Sehingga kemudian perangkat partai tingkat daerah, misalkan mereka sudah melakukan konvensi atau kemudian sudah mendapatkan atau melakukan talent scouting calon kepala daerah itu pada akhirnya hak vetonya ada pada ketua umum dan sekjen partai,” imbuh
Nah ini kemudian kata dia, walaupun mereka sudah berupaya. Contoh di Provinsi Jawa Barat misalkan terkait dengan usulan Anies Rasyid Baswedan oleh PDIP. Atau pencalonan Komjen Pol (Purn) Paulus Waterpauw di Papua Induk. Awalnya mereka akan mendapatkan form atau dukungan partai, tetapi kemudian akhirnya batal dan tidak bisa dicalonkan.
“Artinya dominasi partai sangat kuat. Baca Ketua Umum dan Sekjen Partai, sehingga pengurus tingkat ranting atau cabang sulit untuk merekomendasi calon kepala daerah yang diinginkan. Karena dominasi ketua umum dan sekretaris jenderal yang sangat kuat,” ujar Ramdansyah menambahkan.
Yang kedua, kata dia, ini tentu saja ini menyebabkan pemilih yang kemudian sadar atau rasional itu akhirnya jadi apatis. Apatis kenapa harapan mereka terhadap calon pemimpin yang mereka inginkan itu ternyata tidak kemudian dicalonkan. Asumsinya kondisi ini mempengaruhi mereka secara signifikan.
“Sehingga, pemilih yang rasional seperti di Jakarta merasakan tidak ada jalan keluar. Karena Pilkada tidak berefek pada ekonomi dan pendapatan mereka. Karena harapan terhadap calon pemimpin yang akan mencari jalan keluar tidak ada, maka mereka menjadi apatis tidak ke TPS,” ujarnya
Yang ketiga terkait dengan Gercoss (Gerakan Coblos Semua). UUD 1945 menjamin kedaulatan rakyat dan MK memperkenankan ada peluang yang namanya kotak kosong. Kotak kosong ini kan sebuah keputusan MK sebelumnya, yang kemudian mengapa itu hanya dilakukan di 41 kabupaten kota atau satu provinsi.
“Seharusnya ini juga berlaku juga di 500 lebih kabupaten/kota dan provinsi yang melakukan pemilihan. Sehingga kedaulatan rakyat, tetap terjaga ketika dominasi partai terlalu kuat mencengkram melalui Ketua Umum dan Sekjen partai. Tidak dikabulkannya Gercoss memungkinkan terjadinya tingkat partisipasi yang paling rendah di Jakarta,” jelas Ramdansyah.
“Hari ini kan kita lihat partisipasi yang rendah. Bahkan calon yang di Jakarta itu kan tidak bisa kemudian mengalahkan yang namanya suara tidak sah atau suara yang golput, misalkan seperti itu,” imbuhnya.
Kemudian jelas Ramdansyah, seharusnya ketika calon tunggal yang bersaing dengan kotak kosong, diakomodir, maka tidak boleh ada perlakuan berbeda di seluruh kabupaten/kota atau provinsi lainnya.
“Jakarta pasangan calon pemenangnya itu tidak melebihi dari kotak kosong, legitimasi rendah. Maka sebaiknya MK mengabulkan Gercoss ini kalau ada yang uji materi di MK. Kalau ada payung hukumnya, maka Pilkada DKI Jakarta menjadi 2 putaran. Kalau yang menang tetap blank vote, maka harus ada Pilkada ulang di Jakarta tahun berikutnya,” ujar Ramdansyah yang juga alumni Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta.
Kemudian yang kelima, adalah norma terkait politik dinasti. “Menurut saya, karena pada akhirnya waktu saya pergi ke MK tahun 2015 dan 2016 terkait dengan larangan yang namanya politik dinasti yang sedarah misalkan, itukan terjadi dan kemudian dibatalkan oleh MK saat di uji materi ke MK,” jelas Ramdansyah
“Nah kita senang, misalkan partisipasi perempuan makin lama makin meningkat. Tetapi ternyata kalau kita bedah melalui Pusat Kajian Politik (Puskapol) UI, mbak Sri Budi Eko Wardani, hasilnya adalah hampir yang menjadi afirmasi perempuan yang di pemilu legislatif itu adalah dari kelompok dinasti. Berasal dari keluarga petahana atau elit partai.
Dan ini juga terjadi katakan di Pilkada, tiba-tiba tidak ada angin dan hujan ada orang yang tidak kenal menjadi calon kepala daerah. Hampir mirip dengan pemilu presiden kemarin,” imbuh Ramdansyah.
Kemudian, terakhir catatan nya terkait dengan pilkada, adalah dengan penyelenggara. Penyelenggara tentu saja ada catatan bahwa penyelenggara diseleksi tidak serentak. Misalkan menjelang hari H ada kabupaten/kota yang penyelenggaranya habis masa jabatan, lalu dilakukan kembali seleksi untuk menggantikan satu atau dua orang KPU/Bawaslu.
“Pada akhirnya ini berbahaya, memunculkan pragmatisme. Seharusnya keserentakan tidak hanya kepada Pilkadanya tetapi juga keserentakan kepada penyelenggaranya.
Penyelenggara misalnya untuk Pemilu/Pilkada 2029 itu kemudian harus sudah serentak di misalkan di 2028 atau 2027. Sehingga tidak ada lagi pada masa pelaksanaan tiba-tiba ada rekrutmen baru walaupun hanya satu atau dua orang. Itu menurut saya berbahaya sekali yang muncul pragmatisme,” beber Ramdansyah.
Muncul orang-orang yang masuk menjadi penyelenggara di KPU ataupun Bawaslu tiba-tiba ada tawaran posisi yang bagus atau calon topi bukan sepatu, dia kemudian meninggalkan penyelenggaraan pemilu sebagai KPU maupun Bawaslu.
“Ini menurut saya akibat dari ketidak serentakan. Itu lima catatan saya,” ujarnya
Soal Pilkada dipilih oleh DPRD atau tetap dipilih langsung mana yang baik ?
Ramdansyah menjelaskan, kebetulan dirinya pada 2014 dan 2015 menguji materi tentang Perppu nomor satu tahun 2014 dan Undang Undang 1 tahun 2015 terkait dengan Pilkada.
“Dimana saat itu Perppu yang dibuat oleh Presiden SBY yang awalnya surat presiden (Surpres) kepada DPR tahun 2014 itu, Rancangan Undang-Undang pemilu yang kemudian disahkan oleh DPR pada saat itu bunyinya adalah pemilihan tidak langsung, melalui DPRD Provinsi Kabupaten yang tentu saja secara rasional itu bisa saja dilakukan. Artinya konstitusi kita pilkada langsung atau tidak langsung, selama itu musyawarah mufakat dan itu kemudian dibenarkan,” ujarnya.
“Kemudian ketika presiden SBY pergi keluar negeri dan ada aksi yang menurut saya tidak signifikan, tiba-tiba presiden mengeluarkan Perppu, peraturan pengganti undang-undang. Nah Perppu ini seharusnya dalam keadaan genting dan memaksa, misalkan ada kekacauan dan seterusnya. Tetapi tidak ada kegentingan memaksa, akhirnya Perppu ini membatalkan pemilihan secara tidak langsung melalui DPR,” imbuh Ramdansyah.
Tentu saja waktu itu kami menganggap kalau memang otonomi, kan bicara bukan sentralisasi. Tetapi desentralisasi. Kalau desentralisasi atau otonominya otonomi tingkat berapa. Kalau otonomi tingkat II maka harus dibedakan Untuk kabupaten/kota silahkan melalui pilkada langsung.
“Tetapi kalau gubernur adalah pembantu presiden atau kepanjangtanganan dari eksekutif maka kemudian yang namanya gubernur, satu bisa saja ditunjuk oleh Presiden atau dipilih tidak langsung. Atau keputusan tertentu, seperti yang terjadi misalkan di Yogyakarta misalkan seperti itu. Artinya boleh dengan kemudian dengan asumsi otonomi daerah atau perbantuan atau kemudian otonomi tingkat II. Sementara di tingkat satu itu adalah membantu presiden. Sehingga kemudian gubernur yang kemudian perangkat dari presiden, tidak serta merta dari partai politik yang artinya bisa saja bertentangan dengan partai pemenang Pemilu Presiden itu sendiri,” jelas Ramdansyah.
“Nah Ini yang kemudian kami ajukan waktu itu. Artinya yang pemilihan tidak langsung juga bisa dilakukan di tingkat provinsi melalui DPRD Provinsi. Tetapi tentu saja saat itu dengan Perppu yang dibuat oleh Presiden membatalkan semua,” imbuhnya.
Terkait untung mana pilkada langsung atau pilkada tidak langsung?
“Menurut saya variannya bukan soal untung atau tidak untung. Tetapi persoalannya adalah ini dasarnya bisa nggak kemudian secara konstitusional itu menjadi pemilihan tidak langsung. Jawabannya bisa,” ujar Ramdansyah.
Kemudian dampaknya seperti apa. Lebih merugikan atau tidak. Kalau dari sisi kita tidak mengenal calon.
“Hari ini kan saya mengungkap tentang partai politik yang sudah mulai arus utamanya adalah sentralisasi. Dan yang kedua kalau masyarakat tidak kenal calon gubernurnya maka kemudian yah, masyarakat tidak bisa apa-apa. Yang namanya money politikpun akan terjadi. Tetapi lebih kecil lagi melalui yang namanya perangkat DPRD Provinsi,” ujar Ramdansyah.
“Tetapi ada jalan keluar waktu undang-undang sebelumnya yang menyatakan ada uji petik atau uji kelayakan dari calon kepala daerah karena masyarakat tidak kenal terhadap calon tersebut. Sehingga kemudian harus ada uji kelayakan dan dilakukan oleh DPRD Provinsi. Masyarakat punya kontribusi untuk kemudian memberikan tanggapan. Tetapi frase ini kemudian dihilangkan ketika Pilkada langsung. Karena diasumsikan dengan adanya debat kemudian ada kampanye dan seterusnya, kepada publik langsung. Ini menyebabkan publik tahu tentang calon sehingga bisa memberikan voting secara langsung,” imbuhnya.
Menurut Ramdansyah, kalaupun hari ini masih tetap dilakukan dengan Pilkada langsung misalkan maka yang diperlukan tetap uji kelayakan.
“Kemudian partai politik itu sendiri tidak bisa punya dominan menentukan itu adalah ketum dan sekjen partai,” ujarnya.
Lalu bagaimana dengan dampak anggaran untuk Pilkada langsung dan juga pilkada tidak langsung.
“Ada hasil penelitian yang dibuat oleh Aan Erlyana, terkait dengan dampak alokasi anggaran daerah yang melakukan pemilihan kepala daerah secara langsung dan tidak langsung, terkait dengan PAD perkapitanya. Disitu menyebutkan tidak ada yang signifikan terkait dengan belanja untuk Pilkada langsung dan tidak langsung,” ujar Ramdansyah.
“Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa nggak signifikanlah yang namanya pemilihan langsung atau tidak langsung dilakukan anggarannya tetap, PAD nya tetap. Dan ini penelitian dilakukan tahun 2005 atau 2010 terkait dengan data kabupaten dan kota yang melakukan Pilkada langsung dan tidak langsung.
Secara PAD, penggunaan anggaran itu tidak berpengaruh dalam penelitiannya Aan Erlyana,” imbuhnya
Adanya wacana pilkada tidak langsung, jelas Ramdansyah, pertama ada asumsi umum terkait dengan penyimpangan demokrasi.
“Asumsi yang dibangun misalkan asumsi yang muncul dari beberapa pengamat dan para politisi, yang pertama kalau pemilu seperti ini serentak maka elektoral, ada kelelahan. Menurut saya itu tidak relevan. Yang kedua penyimpangan demokrasi pertanyaannya kalau kemudian melalui DPRD Provinsi maka apakah nggak juga menyimpang. Penyimpangannya lebih besar money politiknya lebih besar,” ujarnya.
Kenapa muncul lagi wacana ini? Kalau jaman SBY, jelas Ramdansyah itu bukan lagi pada wacana. Tetapi sudah surat presiden untuk kemudian dijadikan pembahasan RUU Pilkada saat itu sudah menyatakan itu dan sudah ketok palu dan kemudian ternyata dibatalkan oleh Perppu.
“Itu yang kemudian kami curiga sedikit bahwa kemudian nggak sekalian kalau memang konsep otonomi daerahnya itu adalah tingkat II, kemudian gubernur adalah perangkat dari eksekutif itu sendiri, bukan bagian dari otonomi daerah, maka konsep itu kemudian harus dijalankan. Interprestasi ini yang seharusnya dibangun. Bukan kemudian karena ada penyimpangan terkait dengan Pilkada. Karena tadi saya saat evaluasi di awal sudah sebutkan. Evaluasi tadi bisa memperbaiki pilkada langsung,” pungkasnya.
Jurnalis : Edo Lembang
ACN/RED