Tuesday, October 22, 2024

Hak Kemerdekaan Bangsa Palestina Dalam Konstitusi Indonesia

Oleh : Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M

ACTUALNEWS.ID, Jakarta – Konflik bersenjata Israel – Palestina, selain telah berlanjut lama (terutama sejak 1960-an sampai sekarang) juga sering kali mengganggu keamanan, ketertiban dan ketenteraman dunia. Terutama bagi masyarakat yang berdiam diri di kawasan Timur Tengah dan sekitarnya. Apalagi dengan bombardir mesin perang yang dilakukan tentara Zionis Israil terhadap wilayah Gaza dan Palestina pada umumnya.

Meskipun organisasi- organisasi dunia (internasional) khususnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di samping Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan lain-lain kerap melakukan pertemuan guna mencarikan solusi, namun sampai saat ini masih saja belum membuahkan hasil yang menuntaskan akar permasalahan yaitu kemerdekaan bangsa Palestina.

Alih-alih Palestina menjadi bangsa merdeka yang berdaulat layaknya 200-an lebih negara-negara bangsa di dunia pada umumnya, wilayah Palestina justru menjadi semakin sempit dan penduduknya kerap diintimidasi tentara Israel agar pergi meninggalkan rumah-rumah kediaman mereka.

Lepas dari pertanyaan “tendensius” apakah pembahasan yang dilakukan organisasi-organisasi internasional terkait Negara Palestina itu atas dasar – tujuan yang serius dan fokus adanya (?), atau cuma “formalitas dan basa-basi” (mujamalah, dalam istilah Arab). Itu merupakan perkara lain yang wajar adanya. Yang jelas, mayoritas penghuni bumi ini tampak sudah jenuh dan geram menyaksikan “pembunuhan” terhadap masyarakat sipil (civil society) yang sebagiannya adalah justru kaum perempuan dan anak-anak (bukan kombatan) yang menurut sudut pandang apapun (teologi, politik, hukum, hak asasi manusia dan lain-lain), di manapun (tidak terkecuali di Palestina), dan kapan pun (lebih-lebih di zaman modern sekarang ini) seharusnya dilindungi.

Mayoritas penduduk dunia (internasional) tampak memperlihatkan kemuakan dan kemarahannya atas “bombardir” tentara Israel terhadap wilayah Palestina khususnya Gaza. Maraknya aksi-aksi demo di berbagai negara yang bagian terbesarnya menaruh simpati dan empati kepada penduduk Palestina, sambil “memarahi” dan “menyumpah serapahi” pemerintah dan tentara Israil, menjadi salah satu instrumentnya. Apalagi ketika dihubungkan dengan jumlah negara yang bersetuju dengan kemerdekaan bangsa dan negara Palestina.
Menurut data dari World Population Review (Juli 2019), dari 193 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang hadir ada 138 negara (71,50%) yang telah mengakui Palestina sebagai negara merdeka dan berdaulat penuh. Hanya 28,50% (55 negara) saja yang belum/tidak menyetujui kemerdekaan Palestina. Apalagi dalam beberapa waktu terakhir di mana jumlah negara yang menyetujui kemerdekaan Palestina konon bertambah menjadi 147 negara.

Tanpa mengingkari peran atau minimal pengaruh agama dan pandangan keagamaan dari masing-masing pihak bersama para pendukungnya, hemat saya, simpati dan empati kebanyakan penduduk dunia kepada rakyat Palestina sekarang ini, sambil mencerca bahkan mengutuk pemerintah dan tentara zionis – Israel, lebih disebabkan alasan kemanusiaan dari pada karena dorongan yang lain-lain. Termasuk bukan karena desakan teologi (agama) dalam hal ini Islam yang kebetulan dianut mayoritas warga Palestina, dan Israel yang mayoritas penduduknya Yahudi. Demikian pula halnya dengan dorongan ideologi dalam pengertian bukan satu-satunya.
Memerhatikan informasi yang berkembang akhir-akhir ini, dan menyaksikan bombardir tentara Israel yang mematikan puluhan hingga ratusan rakyat sipil khususnya anak-anak dan kaum perempuan, maka mudah dimengerti apabila kebanyakan negara dan warga dunia cenderung “membenarkan” rakyat Palestina dan menyalahkan Pemerintahan Israel atas dasar kemanusiaan dan hak-hak asasi manusia.

Dilihat dari berbagai aspek (politik, budaya, keamanan, kemanusiaan, dan lain-lain) apalagi dari sudut pandang aspek hukum (internasional maupun nasional), tampak menunjukkan bahwa: Tindakan Israil membombardir kota Gaza dan lain-lain yang sekenanya, jelas berlawanan dengan hukum internasional yang dijunjung tinggi sebagian besar pemerintah negara dan penduduk dunia pada umumnya. Termasuk hukum humaniter internasional yang lazim diistilahkan juga dengan hukum kemanusiaan internadional, dan beberapa istilah lainnya.

“Sebagai negara bangsa yang menganut politik luar negeri “Bebas dan Aktif,” serta memerhatikan potensi besar dan mengakar yang dimiliki Indonesia sebagai bangsa besar, sungguh pada tempatnya manakala Pemerintah dan masyarakat Indonesia mengambil langkah yang lebih konkrit sebagai tindak-lanjut dari penyampaian ungkapan “kutukan” yang sudah banyak dan lama sekali (puluhan tahun) disampaikan, namun nyaris tidak pernah diindahkan oleh Israel sehingga tidak memiliki dampak yang signifikan bagi kemerdekaan Palestina.

Inilah permasalahan mendesak yang perlu segera dicarikan solusinya, dilakukan secara kontinue, dengan pengawalan dan pengawasan yang memadai.

Hal lain yang perlu ditambahkan di sini ialah bahwa bagaimanapun Indonesia itu “berhutang budi” kepada Palestina yang dengan tulus ikhlas berdiri paling depan dalam mengakui dan mendukung Kemerdekaan bangsa dan negara INDONESIA pada tahun 1945. Adagium yang mengatakan “tidak ada dalih balas budi dalam politik,” yang bisa diterima kebenarannya dari satu sisi, tidak serta merta bisa memberangus “soliditas” dan “solidaritas” inter dan antar sesama negara-negara non blok maupun negara-negara OKI.

Sampai kapanpun, hampir dipastikan bahwa Indonesia akan selalu mbutuhkan bantuan bangsa dan negara lain yang sesuai dengan konstitusi dan budaya bangsa Indonesia sendiri
Dengan mempertimbangkan hal-hal di atas, maka peduli Indonesia terhadap konflik Israel dan Palestina, tetap menjadi relevan meski tidak boleh mengabaikan apalagi mengorbankan kepentingan nasional bangsa Indonesia sendiri.

Yang jelas, baik dilihat dari sudut pandang sejarah masa lalu, maupun demi keamanan dan kertiban dunia di masa-masa yang akan datang, Indonesia harus mengambil peran nyata dalam menyelesaikan konflik Israel dan Palestina dalam jangka pendek bahkan mendesak; sedangkan untuk jangka panjang berikutnya, terus mendorong dan menyuarakan kemerdekaan bangsa Palestina,
Itu semua merupakan spirit murni dari hukum internasional secara keseluruhan, termasuk hukum humaniternya, dan sekaligus sebagai amanat (yang bersifat mandatory) dari konstitusi negara bangsa INDONESIA yang bersifat nasional.

“Bagaimana konkritnya ? Tentu memerlukan koordinasi di bawah komando Pemerintah dengan dukungan penuh warga negara Indonesia.
Tanpa mengabaikan apalagi menafikan sumbangsih nyata (sebagian) umat dan masyarakat Indonesia yang terus melaju selama ini, tetap sulit terbayangkan tanpa “koordinasi” dan kolaborasi dengan Pemerintah. Kebijakan MUI yang mengusung slogan sebagai mitra pemerintah (shadiq al-hukumah), memang patut diapresiasi dan dibersamai, Termasuk dalam mencarikan solusi konflik bersenjata di area Masjid Al-Aqsha dan wilayah Gaza khususnya serta Palestina pada umumnya semoga pada saatnya nanti bisa menjadi kenyataan. Amin, in sya Allah.

( ACN/RED ).

Related Articles

[td_block_social_counter facebook="#" twitter="#" youtube="#" style="style8 td-social-boxed td-social-font-icons" tdc_css="eyJhbGwiOnsibWFyZ2luLWJvdHRvbSI6IjM4IiwiZGlzcGxheSI6IiJ9LCJwb3J0cmFpdCI6eyJtYXJnaW4tYm90dG9tIjoiMzAiLCJkaXNwbGF5IjoiIn0sInBvcnRyYWl0X21heF93aWR0aCI6MTAxOCwicG9ydHJhaXRfbWluX3dpZHRoIjo3Njh9" custom_title="Stay Connected" block_template_id="td_block_template_8" f_header_font_family="712" f_header_font_transform="uppercase" f_header_font_weight="500" f_header_font_size="17" border_color="#dd3333"]

Latest Articles