
Actual News, Sumatera Utara — Momentum peringatan HUT ke-30 Museum Pusaka Nias (MPN) menjadi ruang refleksi penting bagi berbagai pihak dalam membicarakan arah pelestarian budaya di tengah derasnya arus digitalisasi. Dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) bertema “Pelestarian dan Pengembangan Budaya Nias di Tengah Era Digital”, hadir para tokoh penting dari berbagai unsur, antara lain:
- Pdt. Tuhoni Telaumbanua (Keynote Speaker),
- Kepala Dinas yang membidangi urusan kebudayaan se-Kepulauan Nias (Narasumber utama),
- Delipiter Lase, S.E., M.Pd. — Rektor Universitas Nias (Narasumber Pembanding),
- Pdt. Dr. Oinike Natalia Harefa, dan
- Perwakilan Museum Pusaka Nias.
FGD yang berlangsung di Aula Museum Pusaka Nias ini dihadiri pula oleh Wakil Walikota Gunungsitoli, tokoh adat, tokoh agama dan tokoh pendidikan dari berbagai daerah di Kepulauan Nias, serta para mahasiswa yang berhasil meraih juara pada lomba penulisan esai.
Dalam forum tersebut, Rektor Universitas Nias, Delipiter Lase, S.E., M.Pd., tampil sebagai narasumber pembanding yang memikat perhatian peserta dengan gagasannya yang visioner dan berbasis kajian ilmiah. Dalam paparannya berjudul “Peran Lembaga Pendidikan dalam Pelestarian dan Pengembangan Warisan Budaya Nias di Era Digital”, beliau menegaskan bahwa pendidikan adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan, serta kunci regenerasi nilai-nilai budaya lokal.
“Museum adalah pusat sejarah, sementara kampus adalah pusat masa depan. Kini saatnya keduanya bersinergi agar budaya Nias tidak hanya dikenang, tetapi juga dihidupkan dan dikembangkan di ruang digital,” tegas Delipiter di hadapan para peserta.
Dalam paparannya, Delipiter Lase dengan gaya retorika yang tenang namun tegas, menyoroti pentingnya sinergi antara lembaga pendidikan, pemerintah daerah, museum, dan komunitas budaya dalam pelestarian warisan budaya Nias. Ia menilai, lembaga pendidikan memiliki tanggung jawab strategis untuk mentransformasikan nilai-nilai budaya menjadi kekuatan identitas dan daya saing di era digital.
Beliau juga mendorong agar setiap sekolah dan kampus di Nias mengintegrasikan budaya lokal dalam Kurikulum Merdeka dan Proyek Profil Pelajar Pancasila (P5). Melalui pendekatan culture-centered learning, siswa dan mahasiswa tidak hanya belajar tentang budaya, tetapi menjadi pelaku aktif yang mendokumentasikan dan menyebarluaskan nilai-nilai lokal melalui teknologi digital — dari vlog budaya, podcast adat, hingga museum virtual.
Lebih jauh, Rektor Universitas Nias tersebut mengusulkan pendirian Pusat Studi Budaya Nias dan Laboratorium Pelestarian Digital Budaya Nias di lingkungan universitas, yang berfungsi sebagai wadah riset, dokumentasi, dan produksi konten edukatif berbasis budaya lokal. Gagasannya disambut antusias oleh peserta FGD, termasuk para kepala dinas dan tokoh budaya yang hadir.
“Budaya tidak akan hilang oleh zaman; ia hanya akan punah jika tidak diwariskan. Maka tugas kita bukan sekadar menjaga, tetapi menghidupkan budaya Nias agar relevan di masa depan,” ujar Delipiter menutup presentasinya dengan penuh semangat.
FGD ini dipandu oleh Ir. Nur Kemala Gulo sebagai moderator dan Ardiansyah Tanjung, S.A.P., MAP sebagai notulis. Agenda tambahan dalam forum ini juga membahas perumusan komitmen kepala daerah dalam mendukung keberlanjutan Museum Pusaka Nias sebagai rumah bersama bagi warisan budaya Ono Niha.
Kehadiran Rektor Universitas Nias, Delipiter Lase, S.E., M.Pd., sebagai narasumber pembanding tidak hanya memperkaya diskusi dengan perspektif akademik, tetapi juga menegaskan posisi Universitas Nias sebagai pusat pemikiran dan penggerak pelestarian budaya di Kepulauan Nias. Dengan pandangan yang sistematis, empiris, dan inspiratif, beliau meneguhkan peran pendidikan tinggi sebagai mitra strategis dalam menjaga warisan leluhur agar tetap hidup dan bermakna di era digital.
