Monday, September 22, 2025

BUKAN PILIHAN, TAPI KEHARUSAN: EKSISTENSI PENDIDIKAN  INKLUSIF ADALAH MANIFESTASI  TANPA UJUNG DALAM  DUNIA PENDIDIKAN

Sebuah Refleksi Pada Mata Kuliah Pendidikan Inklusif akan Pentingnya Pemahaman Pendidikan Inklusif bagi setiap calon guru dan guru-guru di Indonesia

Opini : ELIASMAN KRISTIAN ZENDRATO

Mahasiswa Semester VII Program Studi PGSD FKIP Universitas Nias

ActualNews, Sumatera Utara – Saya Eliasman Kristian Zendrato atau yang kerap kali di sapa Elias. Saya  ingin menyampaikan Opini, dalil, dan argumentasi saya terkait Pentingnya menyelenggarakan keberadaan  pendidikan Inklusif dalam lembaga  pendidikan. saya memandang Pendidikan inklusif sesungguhnya adalah sebuah filosofi, sebuah sistem nilai, dan sebuah pendekatan transformatif yang mentransformasi seluruh ekosistem pendidikan. Artinya pendidikan inklusif tidak hanya berbicara beberapa lembaga pendidikan yang memilih untuk menampung warga sekolah yang kekurangan, baik dalam kemampuan kognitif, afektif, atau psikomotorik. Tapi Ini tentang perwujuduan pendidikan itu  dinyatakan dalam sebuah kata  keharusan untuk memberdayahkana moral, sosial, sebagai manifestasi abadi/tak berujung kepada seluruh elemen yang mau berdikari dalam ekosistem pendidikan. Jelas,  ini berhubungan  dengan hakikat pendidikan itu sendiri, ini adalah sebuah proses memanusiakan manusia dan memberdayakan setiap insan tanpa terkecuali. Seringkali, pemahaman tentang pendidikan inklusif kita  terjebak pada definisi yang sempit memasukkan anak berkebutuhan khusus (ABK) ke dalam sekolah reguler. Pemahaman ini tidak sepenuhnya salah, tetapi sangat tidak cukup. Ibarat hanya membawa seseorang ke tepi kolam renang dan menyuruhnya berenang tanpa mengajarkan caranya.

Saya mau  analogikan, mari kita sama sama  bayangkan dua anak yang lahir pada hari yang sama, di kota yang sama, dengan orangtua yang berbeda. Anggap saja  anak  yang satu bernama Eka, lahir dalam keluarga yang lengkap, dengan akses terhadap nutrisi terbaik, dan selalu terpenuhi stimulasi dini. sehingga Eka tumbuh dengan percaya diri, penuh rasa ingin tahu, dan siap menyambut dunia pendidikannya. Sedangkan Anak yang satunya, sebut saja Elias, lahir dengan kondisi cacat fisik yang memengaruhi kontrol motoriknya. Keluarganya hidup dengan keterbatasan ekonomi. Orang tuanya, meski sangat menyayanginya, tidak memiliki pengetahuan tentang cara menstimulasi anak berkebutuhan khusus. Ketika tiba waktunya sekolah, beberapa sekolah menolaknya dengan halus, “Maaf, kami tidak memiliki guru pendamping khusus. Kami khawatir tidak bisa mengoptimalkan potensi Elias.” Dua anak. Potensi manusia yang sama besarnya. Namun, pintu masa depan mereka dibuka dengan kunci yang sangat berbeda. Eka  melangkah masuk ke lorong yang terang benderang, penuh petualangan dan penanda arah. Sedangkan Elias harus berjuang mencari pintu yang bahkan mau terbuka sedikit untuknya.

Fragmen kenyataan ini bukanlah fiksi. Ini adalah pemandangan sehari-hari yang sering kita abaikan. Pertanyaannya adalah: sebagai sebuah peradaban, sebagai masyarakat yang mengklaim diri beradab dan berkeadilan, apakah kita akan membiarkan nasib generasi penerus ditentukan oleh keberuntungan dalam lotere kelahiran? Apakah kita akan membangun tembok yang mengubur potensi seorang anak berkebutuhan Khusus, atau kita akan membangun jembatan yang memungkinkannya untuk mencapai destinasi yang setara dengan anak pada umumnnya? Bagi saya, Eliasman Kristian Zendrato, jawabannya adalah satu dan jelas: kita harus membangun jembatan itu. Jembatan itu bernama Pendidikan Inklusif. Dan ini bukan lagi sekadar opsi kebijakan yang bisa diperdebatkan, bukan lagi program tambahan yang bisa dikesampingkan ketika anggaran sedang sulit. Pendidikan inklusif adalah sebuah keharusan tanpa terkecuali.

Saya percaya kita pasti bertanya Mengapa Ini Sebuah Keharusan?. Keharusan pendidikan inklusif tidak berdiri di atas satu kaki, tetapi ditopang oleh beberapa pilar fundamental yang kokoh. Kita sama sama tau dunia telah bersepakat bahwa pendidikan adalah hak asasi manusia yang fundamental. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948) Pasal 26 menyatakan, “Setiap orang berhak mendapat pendidikan.” Kalimat “setiap orang” tidak disertai dengan catatan kaki atau pengecualian. di tingkat nasional, landasan hukumnya pun kuat menyebut  dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (1): “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan (BAPPENAS RI, 1945). UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 5 ayat (1): “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu” (Kesowo, 2003). Bahkan dalam UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas: Secara eksplisit mendorong sistem pendidikan inklusif (Hope & Berkeley, 2016) . Sehingga saya memandang inilah pilar fundamental yang pertama adalah Hukum dan Hak asasi Manusia. Dengan demikian, menolak pendidikan inklusif bukan hanya sebuah kelalaian pedagogis, tetapi secara hukum dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM. Ini adalah pilar pertama yang paling tidak terbantahkan. setiap anak, dalam kondisi apa pun, memiliki hak yang sama di depan hukum untuk mendapatkan pendidikan terbaik.

Guru tanpa pemahaman pendidikan inklusif berpotensi diskriminatif

Di sisi lain pasti Banyak kekhawatiran yang muncul, “Apakah memasukkan anak dengan kebutuhan khusus akan mengganggu konsentrasi dan menurunkan prestasi anak-anak lainnya?” Penelitian dari seluruh dunia justru membantah kekhawatiran ini. Faktanya, pendidikan inklusif, ketika diimplementasikan dengan baik, justru meningkatkan kualitas pembelajaran untuk semua. Mengapa? Untuk memenuhi kebutuhan beragam siswanya, guru harus mengadopsi  pembelajaran yang terdiferensiasi. Ini berarti guru akan menggunakan berbagai strategi mengajar (visual, auditori, kinestetik), berbagai materi, dan berbagai metode penilaian. Pada akhirnya, semua siswa di kelas itu, termasuk anak-anak yang “rata-rata” atau bahkan “berbakat”, akan mendapat manfaat. Mereka bisa belajar dengan gaya yang paling cocok untuk mereka. Guru menjadi lebih kreatif dan terampil.  Kelas inklusif adalah miniatur masyarakat yang sesungguhnya. Anak-anak belajar berinteraksi, berempati, bekerja sama, dan menghargai perbedaan sejak dini. Mereka belajar bahwa dunia tidak selalau sama. Kecerdasan interpersonal dan emosional mereka terasah dengan sangat baik. Nilai-nilai seperti toleransi, kesabaran, dan gotong royong bukan lagi sekadar teori di buku PKn, tetapi praktik sehari-hari. Sehingga saya memandang pilar fudamental yang kedua adalah Pilar Akademis  Dengan kata lain, pendidikan inklusif tidak “mengurangi” kualitas ataupun kosentrasi anak lain justru ia meningkatkan dan memperkaya pengalaman belajar bagi setiap individu di dalam lembaga pendidikan tersebut.

Pilar terakhir dari pandangan saya  yang menjadi landasan keharusan penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah Pilar Sosial Budaya. Pendidikan adalah cermin masyarakat. Jika kita menginginkan masyarakat inklusif yang menghargai perbedaan, maka kita harus memulainya dari bangku sekolah. Sekolah yang segregatif (memisahkan) hanya akan melestarikan stigma dan prasangka. Dunia semakin terhubung. Kelak, anak-anak ini akan bekerja dalam tim yang beragam latar belakang, budaya, dan kemampuan. Pengalaman belajar di kelas inklusif adalah pelatihan terbaik untuk menghadapi realitas dunia kerja abad ke-21. Dengan mengurangi ketakutan dan kesalahpahaman terhadap kelompok yang berbeda, pendidikan inklusif menciptakan fondasi untuk masyarakat yang lebih harmonis, damai, dan saling mendukung.

Di balik itu, Meski argumen-argumen di atas sangat kuat, implementasi pendidikan inklusif di Indonesia masih menghadapi tantangan yang besar. Sebagai seorang yang banyak berinteraksi dengan dunia pendidikan, Eliasman Kristian Zendrato melihat beberapa kendala utama: pertma adalah  Mindset dan Budaya.  Stigma dan persepsi negatif terhadap disabilitas masih sangat kuat, tidak hanya di masyarakat tetapi juga di kalangan pendidik dan orang tua sendiri. Pemikiran “lebih baik dipisahkan” masih dominan sehingga Ini menjadi tantangan terberat yang perlu kita perhatikan bersama. Tantangan kedua adalah Kesiapan Guru. Guru adalah ujung tombak. Banyak guru yang merasa tidak siap dan tidak terlatih untuk menangani kelas inklusif. Mereka kekurangan keterampilan untuk pembelajaran yang diferensiasi, manajemen kelas inklusif apalagi dalam memberikan bimbingan khusus bagi mereka yang sangat membutuhkan bimbingan tersebut. Tantangan yang ketiga adalah Kolaborasi yang Lemah antara beberapa pihak yang bersangkutan.  Implementasi inklusi membutuhkan kolaborasi yang erat antara sekolah reguler dengan sekolah luar biasa, dinas pendidikan, orang tua, komunitas, dan tenaga profesional. Karna pada keadaan realnya masih banyak yang belum optimal dalam hal kerja sama mengurus anak berkebutuhan khusus.

Dari kendala tersebut saya bepikir bahwa sebuah ungkapan  keharusan tidaklah cukup. Kita harus memiliki peta jalan yang konkret untuk mewujudkannya. Saya menyarankan langkah strategis yang menurut saya ada baiknnya  untuk dilakukan untuk menangani beberapa tantangan yang kita jumpai dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif adalah: menyelenggarakan Kampanye Kesadaran Publik yang minset stugnan itu dengan menggunakan media untuk mengubah narasi tentang disabilitas dan inklusi. Menampilkan kisah-kisah sukses, praktik terbaik, dan manfaat nyata dari pendidikan inklusif untuk meyakinkan semua pihak.Kemudian kita perlu Revolusi Pelatihan Guru,  Program pelatihan pra-jabatan dan dalam jabatan untuk guru harus memahami  ABK  sebagai inti sekolah dengan kesetaraan dan keadilaan, bukan malah selektif. Setiap guru, apa pun mata pelajarannya, harus dibekali dengan keterampilan mengelola kelas inklusif. Terakhir kita perlu Membangun Kemitraan yang Holistik,  Sekolah tidak bisa bekerja sendiri. Kemitraan dengan orang tua harus terjangkau. Kolaborasi dengan perguruan tinggi untuk penelitian dan pendampingan, dengan dunia usaha untuk penyediaan beasiswa dan program magang inklusif juga sangat penting untuk mendukung penyelengaraan prgram pendidikan inklusif.

Dari hal  itu, saya, Elias Zendrato, bersikukuh bahwa ini adalah sebuah keharusan dan bukan pilihan, saya berbicara tentang sebuah revolusi pemikiran. Kita harus beralih dari paradigma yang memandang “kecacatan” sebagai masalah individu yang perlu diperbaiki ke paradigma yang lebih baik yang memandang “kecacatan” sebagai hasil dari interaksi antara keterbatasan individu dengan hambatan lingkungan dan sikap masyarakat yang mengekang. Pendidikan inklusif adalah perwujudan dari kata keharusan ini. untuk itu harapan terbesar saya  bagi masyarakat, mari mengubah pola pikir kita. Berhenti memberi label dan stigma. Dukunglah sekolah-sekolah inklusif di sekitar kita. Ciptakan lingkungan yang ramah dan menerima untuk semua anak. Teruntuk buat pendidik kita  adalah garda terdepan. Teruslah belajar dan berinovasi. Tuntutanlah hak Anda untuk mendapat pelatihan yang memadai. Ketika kita mengubah metode mengajar untuk satu anak, itu tandanya kita sedang menyelamatkan puluhan anak lainnya. Dan teruntuk untuk orangtua baik orang tua dari anak dengan kebutuhan khusus maupun tidak, jadilah orangtua yang kritis dan aktif dan peduli. Bekerjasamalah dengan sekolah, mari suarakan kebutuhan anak anak.

Sebagai penutup, izinkan saya, Eliasman Kristian Zendrato, mengutip pepatah Afrika yang sangat dalam berbunyi: “It takes a village to raise a child”. Yang artinya  Butuh seluruh desa untuk membesarkan seorang anak (Reupert et al., 2022). Pendidikan inklusif adalah perwujudan modern dari pepatah ini. Butuh seluruh elemen bangsa pemerintah, guru, orang tua, masyarakat untuk bersatu membangun sebuah sistem yang memastikan tidak ada satu pun anak yang tertinggal. Karena pada hakikatnya, selama masih ada satu anak yang ditolak hak pendidikannya, maka cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa masih belum sepenuhnya kita raih. Mari kita wujudkan bersama, untuk untuk masa depan Indonesia yang benar-benar inklusif dan gemilang. (Cuncun – ACN/22/RED/062)

Related Articles

Stay Connected

0FansLike
0FollowersFollow
0SubscribersSubscribe

Latest Articles